Dasar pemikiran intervensi
Ekonomi
Tondang1209
Pertanyaan
Dasar pemikiran intervensi
1 Jawaban
-
1. Jawaban k1f0
Negara terpaksa melakukan intervensi dalam masyarakat kaerna efek anti sosial dari kapitalisme. Teori individualistik yang menjadi dasar kapitalisme (”setiap orang untuk dirinya sendiri”) mengakibatkan tingginya deraajat statisme krena sistem perekonomian itu sendiri tidak memiliki sarana untuk menghancurkan cara kerjanya yang destruktif. Negara juga harus mengintervensi perekonomin, bukan hanya untuk melindungi kepentingan kelas berkuasa melainkan juga untuk melindungi masyarakat dari pengaruh kapitalisme yang sifatnya destruktif dan mengatomisasi. Terlebih lagi, kapitalisme memiliki kecenderungan inheren menjuju depresi atau resesi periodik, dan usaha untuk mencegahnya menjadi bagian dari fungsi negara. Namun demikian, karena mencegah kedua hal tersebut adalah tidak mungkin (mereka terbentuk ke dalam sistem, lihat bagian C.7), pada prakteknya, negara hanya dapat mencoba menangguhkan dan memperbaiki kepelikannya. Mari kita mengawali pembahasan dengan membicarakan kebutuhan akan intervensi sosial.
Kapitalisme berdasarkan pada pengubahan pekerja dan tanah menjadi komoditas. Seperti penjelsan Karl Polanyi, bagaimana pun juga, “pekerja dan tanah tidak lain dari manusia itu sendiri yang membentuk setiap masyarakat dan lingkungan di manapun ia beraada; memasaukkan kerja dan tanah ke dalam mekanisme pasar sama artinya dengan mengsubordinasi masyarakat ke dalam hukum pasar” (The Great Transformation, hal.71). Dan ini berarti bahwa “masyaraka manusia menjadi aksesoris untuk sistem perekonomian,” dengan meletakkan kemanusiaan di tangan permintaan dan penawaran. Namun situasi semacam itu “tak daapat berlangsung sampai kapanpun tanpa menghancurkan substansi natural dan manusia dalam masyarakat; secara fisik, hal tersebut menghancurkan manusia dan mentransformasikan lingkungannya menjadi hutan belantara” (Ibid., hal.41-41)
Berharap bahwa sebuah komunitas akan tetap mengacuhkan ancaman pengangguran, kondisi kerja yang berbahaya, 16 jam kerja sehari, pergantian industri dan pekerjaan, serta kemerosotan moral psikologis yang mengiringinya–hanya karena efek-efek ekonomi yang dalam jangka panjang mungkin akan lebih baik–merupakan sebuah absurditas. Sama saja, bagi pekerja untuk tetap mengacuhkan, misalnya kondisi kerja yang menyedihkan, menunggu dengan penuh kesabaran datangnya majikan baru yang akan memberikan kondisi kerja yang lebih baik, atau bagi warga negara untuk menunggu dengan pasif pertanggungjawaban sukarela kaum kapitalis, adalah mengambil peran apatis dan merendahkan diri untuk manusia. Untungnya tenaga kerja menolak menjadi sebuah komoditi dan warga negara menolak untuk tetap bersantai sementara ekosistem planet mereka.